Kamis, 27 Januari 2011

Renungan Minggu Biasa IV

Berbahagialah Orang Yang Miskin di Hadapan Allah, Mungkinkah?
Ucapan berbahagialah dalam Injil hari ini agak terdengar idealis, sehingga banyak dari kita yang mengabaikan sabda ini. Sebagai manusia, tentunya hidup bahagia dan sejahtera di dunia ini adalah impian dari semua orang, pun juga bahagia di akhirat nanti. Setiap orang ingin hidupnya berkecukupan, sejahtera dan sehat walafiat. Bahkan ketika karir atau jabatan naik, orang merasa bahagia dan tak jarang mengadakan syukuran dan ibadah bersama. Orang yang miskin bercita-cita untuk menjadi orang yang kaya, dan orang yang kaya pun berusaha mempertahankan kekayaannya. Kalo kebahagiaan dari segi materi sudah mencukupi, barulah orang mengejar kebahagiaan dari segi yg lain seperti spiritual dan psikologis. Karena itu wajar jika setiap orang tua berusaha agar anaknya boleh hidup bahagia dan menikmati hidup yang mapan. Sampai sekarang orang-orang, termasuk orang Kristen, percaya bahwa hidup yang nyaman, menyenangkan dan baik-baik adalah hidup yang "penuh berkat". Ini adalah ukuran umum dari kebahagiaan di dunia ini.

Kalo demikian, apakah sabda bahagia ini cuma surga telinga saja bagi orang yg lemah, miskin dan sedang menderita? Apakah hanya sekedar kata-kata penghibur saja? Atau ada maksud lain yang ingin dikatakan Yesus? Yesus tidak pernah melarang orang untuk menjadi kaya. Dia pun tidak pernah menghendaki agar orang menjadi miskin di dunia ini. Yang dikehendaki Yesus ialah agar orang tidak terlena dengan kebahagiaan semu/sementara, tetapi selalu mengingat kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati dicapai ketika orang sudah berkumpul dalam Kerajaan Allah, bahkan memiliki Kerajaan Allah. Tidak satu pun orang yang kaya di hadapan Allah, maka setiap orang harus menyadari bahwa ia adalah orang yang miskin di hadapan Allah. Karena kemiskinan secara rohani inilah maka setiap orang berseru dan selalu bergantung pada Allah. Orang membiarkan dirinya untuk dituntun oleh rahmat Allah, karena ia sadar akan ketidakberdayaannya. Hal ini sesuai dengan realitas bahwa orang yang sombong, yang merasa diri hebat dan selalu ingin dihormati, merasa lebih tinggi dari orang lain dan memandang rendah orang lain, seringkali  sulit untuk merendahkan diri dan percaya pada Tuhan. Padahal ketika orang mati, ia tidak punya apa-apa lagi (sesuatu yang seringkali dilupakan orang).
Kalau demikian, bagaimana kita bisa mewujudkan sabda bahagia ini dalam kehidupan sehari-hari? Kemampuan kita memang berbeda-beda, ada yang punya banyak uang ada yang tidak, tetapi setiap orang tetap bisa memberikan diri mereka, baik itu lewat perhatian, lewat doa-doa, sikap yang santun dan menghargai orang lain, dan tentu saja kita dapat mengasihi orang-orang yang membutuhkan di sekitar kita. Kerendahan hati di hadapan sesama akan menghantar kita pada ketulusan dan "kemiskinan" di hadapan Allah. Kita semua ingin termasuk yang empunya Kerajaan Surga bukan? Mulailah berusaha.

Readmore »»