Berbahagialah Orang Yang Miskin di Hadapan Allah, Mungkinkah?
Ucapan berbahagialah dalam Injil hari ini agak terdengar idealis, sehingga banyak dari kita yang mengabaikan sabda ini. Sebagai manusia, tentunya hidup bahagia dan sejahtera di dunia ini adalah impian dari semua orang, pun juga bahagia di akhirat nanti. Setiap orang ingin hidupnya berkecukupan, sejahtera dan sehat walafiat. Bahkan ketika karir atau jabatan naik, orang merasa bahagia dan tak jarang mengadakan syukuran dan ibadah bersama. Orang yang miskin bercita-cita untuk menjadi orang yang kaya, dan orang yang kaya pun berusaha mempertahankan kekayaannya. Kalo kebahagiaan dari segi materi sudah mencukupi, barulah orang mengejar kebahagiaan dari segi yg lain seperti spiritual dan psikologis. Karena itu wajar jika setiap orang tua berusaha agar anaknya boleh hidup bahagia dan menikmati hidup yang mapan. Sampai sekarang orang-orang, termasuk orang Kristen, percaya bahwa hidup yang nyaman, menyenangkan dan baik-baik adalah hidup yang "penuh berkat". Ini adalah ukuran umum dari kebahagiaan di dunia ini.
Kalau demikian, bagaimana kita bisa mewujudkan sabda bahagia ini dalam kehidupan sehari-hari? Kemampuan kita memang berbeda-beda, ada yang punya banyak uang ada yang tidak, tetapi setiap orang tetap bisa memberikan diri mereka, baik itu lewat perhatian, lewat doa-doa, sikap yang santun dan menghargai orang lain, dan tentu saja kita dapat mengasihi orang-orang yang membutuhkan di sekitar kita. Kerendahan hati di hadapan sesama akan menghantar kita pada ketulusan dan "kemiskinan" di hadapan Allah. Kita semua ingin termasuk yang empunya Kerajaan Surga bukan? Mulailah berusaha.